BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dewasa
ini sering sekali terjadi kecelakaan ataupun kondisi dimana kita melihat ada
korban yang dikarenakan penyakit yang dideritanya atau karena ketidaksengajaan.
Penulis ayang merupakan orang yang terlibat di bidang kesehatan membuat makalah
ini dengan harapan dapat menjadi pedoman serta acuan pembaca atau mahasiswa/i
kesehatan dalam melakukan usaha atau tindakan penyelamatan terhadap korban
maupun pasien yang nantinya ditemui di Rumah Sakit. Resusitasi Jantung dan Paru
merupakan salah satu tindakan penyelamatan yang bisa di golongkan ke dalam P3K
(Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) . Resusitasi mengandung arti harfiah
“Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan pernapasan (bantuan napas) dengan kompresi dada eksternal. RJP digunakan ketika seorang korban mengalai henti jantung dan henti napas.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan pernapasan (bantuan napas) dengan kompresi dada eksternal. RJP digunakan ketika seorang korban mengalai henti jantung dan henti napas.
Dan
di dalam makalah ini membahas apa penyebab dan bagaimana tindak lanjut dari
pertolongan Resusitasi Jantung dan Paru pada korban (pasien).
2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah
Ø Guna memenuhi standar
penilaian untuk mata kuliah kepererawatan radilogi,
Ø Guna memberikan
informasi mengenai penatalaksanaan resusitasi jantung dan paru pada pasien
serta dapat membedakan gejala yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tinjauan
Teoritis
Istilah resusitasi
atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau
memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha
medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau
kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai
hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan
peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala
usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf,
yang terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti
sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah
istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia
menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Berhasil tidaknya resusitasi
jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya.
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif)
antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari 5
menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan
stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang
mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru
yang lanjut. (2)
Permasalahan yang sering kita hadapi,
bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru
dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat.
Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas
secara praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan melakukan resusitasi
jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler
2.
Konsep
Dasar
a. Definisi
Resusitasi mengandung
arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat
dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis.
b. Klasifikasi
Resusitasi jantung
paru terdiri atas 2 komponen utama yakni :
1.
Bantuan hidup dasar /
BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan
sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan
mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera
memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan
cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya
sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi
jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti jantung” yang disaksikan
(witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh
orang yang berada di sekitar korban.
2.
Bantuan hidup lanjut /
BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan
memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien. (3)
3.
Tunjangan Hidup Terus
Menerus
c. Etiologi
henti jantung dan nafas
Beberapa penyebab
henti jantung dan nafas adalah,
1.
Infark miokard akut,
dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain,
renjatan dan edema paru.
2.
Emboli paru, karena adanya
penyumbatan aliran darah paru.
3.
Aneurisma disekans,
karena kehilangan darah intravaskular.
4.
Hipoksia, asidosis,
karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi,
penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf
pusat.
5.
Gagal ginjal, karena
hiperkalemia
Henti jantung biasanya terjadi beberapa
menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah
terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30
menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi
pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi
maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi
pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak
irreversibel.
d. Diagnosis
1.
Tanda-tanda henti
jantung
a.
Kesadaran hilang
(dalam 15 detik setelah henti jantung)
b.
Tak teraba denyut
arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)
c.
Henti nafas atau
mengap-megap (gasping)
d.
Terlihat seperti mati
(death like appearance)
e.
Warna kulit pucat
sampai kelabu
f.
Pupil dilatasi
(setelah 45 detik).
2.
Diagnosis henti
jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar
a.
Tekanan darah sistolik
50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba.
b.
Aktivitas
elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi
mekanis, terutama pada asfiksia.
c.
Gerakan kabel EKG
dapat menyerupai irama yang tidak mantap.
d.
Bila ragu-ragu, mulai saja
RIP.
3.
Penatalaksanaan
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang
mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena
itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita
tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. Pada
penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan
resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
1.
Resusitasi dilakukan pada :
- Infark jantung
“kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
- Serangan
Adams-Stokes
- Hipoksia akut
- Keracunan dan
kelebihan dosis obat-obatan
- Sengatan listrik
- Refleks vagal
- Tenggelam dan
kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2. Resusitasi
tidak dilakukan pada :
- Kematian normal, seperti yang biasa
terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
- Stadium terminal
suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
- Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi
serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada
normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan
resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan
resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada
luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang
tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada respons, tidak
ada nafas dan tidak ada nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi
jantung paru adalah sebagai berikut :
A. Bantuan Hidup Dasar
Ø
Airway (jalan nafas)
Berhasilnya
resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera
menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang
kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh
ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini. Bila
tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan,caranya ialah :
-
Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
- Mendorong ke kepala ke belakang dan kemudian,
- Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut
atau hidung.
Penarikan rahang
bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala
korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke
samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau
mulut ke hidung.
Ø
Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan
pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher
korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang
lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan
dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan
udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif,
sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali
tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang
adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :
·
gerakan dada waktu
membesar dan mengecil
·
merasakan tahanan
waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
·
dengan suara dan
rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat,
penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis.
Ø
Circulation (Sirkulasi
buatan)
Sering disebut juga
dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest)
ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang
yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
·
Afiksi dan hipoksi
·
Serangan jantung
·
Syok listrik
·
Obat-obatan
·
Reaksi sensitifitas
·
Kateterasi jantung
·
Anestesi
Untuk mencegah mati
biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3
atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak
terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera
dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung
diketahui dari
·
Hilangnya denyut nadi
pada arteri besar
·
Korban tidak sadar
·
Korban tampak seperti
mati
·
Hilangnya gerakan
bernafas atau megap-megap.
Pada henti jantung
yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik
kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5
kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena :
1.
Penolong sudah berada
di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
2.
Daerah leher biasanya
terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3.
Arteri karotis adalah
sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya
tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali
denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka
ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan.
Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,
1.
RJP jangan berhenti
lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2.
Tidak perlu
memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
3.
Jangan menekan
prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
4.
Diantara tiap
kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari
jangan menekan iga korban
5.
Hindarkan gerakan yang
menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
6.
Perhatikan komplikasi
yang mungkin karena RJP
ABC RJP dilakukan
pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa
hasil,
1.
Korban menjadi sadar
kembali
2.
Korban dinyatakan
mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau
pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
3.
Korban belum
dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu
diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
B. Bantuan Hidup
Lanjut
1. Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat
diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum
timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan
berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,
1.
Penting, yaitu :
·
Adrenalin
·
Natrium bikarbonat
·
Sulfat Atropin
·
Lidokain
2.
Berguna, yaitu :
·
Isoproterenol
·
Propanolol
·
Kortikosteroid
Ø
Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan
metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa
bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan
intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus
dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan
hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi
pemberian dengan dosis yang sama.
Ø
Adrenalin
Mekanisme kerja
merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang
setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan
pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel.
Ø
Lidokain
Meninggikan ambang
fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang
stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa,
tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik,
atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas
sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang
berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal
dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus,
pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml
dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Ø
Sulfat Artopin
Mengurangi tonus
vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada
keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan
sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam
interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak
boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
Ø
Isoproterenol
Merupakan obat
pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block).
Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan
dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut
jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi
berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
Ø
Propranolol
Suatu beta adrenergic
blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi
ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung
tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat
diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
Ø
Kortikosteroid
Sekarang lebih
disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate
atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau
shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti
jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka
digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
2.
EKG
Diagnosis
elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring
Fibrillation Treatment
Tindakan defibrilasi
untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting
susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
Keputusan untuk
memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan
penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik
adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran,
gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam
tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya
menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya
sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Resusitasi mengandung
arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat
dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian
biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan
hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar
bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan
alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup
lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi
dilakukan pada : infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”,
serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis
obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih
memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian
normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru
khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup,
untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar